Social Links
AMRI | KENAPA TOKO HARUS “HARGA PAS”?
19825
post-template-default,single,single-post,postid-19825,single-format-standard,vcwb,ajax_fade,page_not_loaded,,side_area_uncovered_from_content,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-5.0.1,vc_responsive
 

KENAPA TOKO HARUS “HARGA PAS”?

Oleh : Suhu Wan (Ketum AMRI & Owner 85 Idolmart)

Saat memulai bisnis pertama kali dengan membuka kios di pasar dengan merek TOKO NADA (nama anak saya yang pertama), saya sudah menggunakan “harga pas” untuk produk yang dijual. Padahal hampir seluruh kios yang ada di pasar itu menggunakan sistem harga tawar menawar.

Akibatnya hampir selama 3 bulan saya kewalahan menghadapi tipe pelanggan di pasar yang sebagian besar akan menawar harga. Bahkan banyak ibu-ibu yang merasa tidak sukses berbelanja jika tidak berhasil menawar ?

Saya katakan,”maaf Ibu harga kita sudah murah, ini sudah pakai label harga”
“Ceile kayak di mall aja” jawab mereka.? Saya ingat ada seorang Ibu yang jika menawar itu “sangat luar biasa” bahkan membuat saya takut setiap dia datang belanja. Jika di toko ada istri saya, maka pasti saya minta istri yang melayani.

Suatu malam kebetulan hanya saya yang di kios mendadak ibu itu datang bersama suaminya dan mau tidak mau saya harus melayani. Setelah memilih barang (mainan) dia langsung menawar harga pas yang sudah ada labelnya. Saya tolak secara halus tetapi dia tetap ngotot,”saya sudah pelanggan tetap di sini, masak harga tidak bisa dikurangi juga”
Dalam hati saya “jika ibu pelanggan tetap pasti tahu dong bahwa harga tidak akan pernah saya kurangi”.?

Saya menyadari, begitu sekali saja saya pernah mengurangi harga, maka pelanggan merasa bahwa label harga pas itu ternyata masih bisa ditawar dan merasa harga itu mahal. Akhirnya karena dia beli mainan itu 2 sekaligus, dan saya sudah kehilangan akal untuk menolak ditawar, saya kasih hadiah tambahan baterai murah (mainan itu membutuhkan baterai), dia malah tetap ngotot,”masak baterai yang murah, kasih gratis Alkalin dong”
Suaminya yang menemani akhirnya karena tidak enak bilang ke istrinya,”sudah Bu itu kan sudah murah, dikasih baterai lagi”
Eh malah dia menyemprot suaminya,”Bapak ini kok bela yang jual, bukan bela istri sendiri”?

Tetapi luar biasa, setelah 3 bulan justru harga pas ini menjadi kekuatan di kios saya, karena pelanggan akhirnya percaya jika harga saya memang murah (karena tidak pernah bisa ditawar). Setiap pelanggan pasar itu membutuhkan barang yang di kios saya ada maka mereka akan ke kios saya dulu.

Ada yang mau membeli tas yang harganya dua puluh ribu rupiah dan masih mencoba menawar, setelah saya tolak dengan halus,”maaf Pak harga kita murah kok, kita memang tidak memainkan harga, bapak bisa cek deh ditempat lain”.
Bapak itu mencoba pergi ke kios lain dan menanyakan harga tas yang sama, tahu berapa harga yang disampaikan oleh kios yang lain? Empat puluh ribu rupiah, bapak itu langsung balik ke kios saya lagi. Padahal mungkin jika dia menawar maka harga nya bisa saja dua puluh ribu rupiah.? Toko nada akhirnya menjadi kios yang pelanggannya paling ramai di pasar itu (passimal Cikarang baru, Bekasi).

Saya pernah tahun 2012 diundang seminar di Cikarang dengan jumlah peserta sekitar 50 orang. Saya tanya,”Siapa Bapak Ibu yang tinggal di Cikarang baru?” Setengah dari 50 itu angkat tangan. Saya tanya lagi,”siapa yang tahu toko nada di passimal?” Dari yang tadi angkat tangan, hampir semuanya angkat tangan lagi. Saya takjub toko nada itu sudah tutup 6 tahun sebelum saya seminar disitu (tutup tahun 2006 karena pasar digusur oleh pengembang). Begitu melegenda nya toko nada yang berdiri selama 6 tahun di Cikarang baru, dengan ukuran kios yang hanya 3×6 m omsetnya bisa dua juta lebih per hari saat itu.

Kenapa harus harga pas? Selain bisa jadi kekuatan, harga pas itu memungkinkan kita membangun sistem sehingga toko kita bisa kita tinggal dan serahkan pada karyawan. Kita tinggal melakukan stock opname setiap bulan (mudah melakukannya karena tinggal menghitung harga jual/pas yang ada di produk itu) kemudian tinggal memperhitungkan pembelian dalam 1 bulan terus dibandingkan dengan penjulan selama 1 bulan ybs.

Kita akan tahu barang kita ada yang hilang atau tidak.
Andaikata kita menggunakan sistem tawar menawar tentunya sulit mengontrol apakah karyawan kita jujur apa tidak, misalkan harga suatu produk dijual lima belas ribu rupiah, tetapi dia mencatat hanya sepuluh ribu rupiah dengan alasan ditawar oleh pelanggan.

Dengan sistem tawar menawar toko terpaksa kita tungguin sendiri, inilah kendala toko tradisional, walaupun tokonya maju dan ramai namun pemiliknya tidak bisa pergi dari toko itu. Selain itu tentu tidak bisa membuka cabang toko lagi, karena tokonya harus ditungguin terus. Cara satu-satunya untuk membuka toko ke-2 dia Harus punya dulu istri ke-2 (yang menunggu toko)?

Selamat pagi, semoga bermanfaat

DPP AMRI
dppamri@gmail.com
No Comments

Post A Comment