05 Mei ETIKA ITU TENTANG RASA
Teringat sebuah bisnis yang beretika, brand baju muslim anak. Belasan tahun dibersamai oleh mitra yang membantu mengerjakan bagian dari baju tersebut.
Singkat cerita CEO muda mereka yang mengerti financial management merekomendasikan untuk melakukan efisiensi, tak lagi bekerjasama dengan mitra tersebut. Benefit yang bakal didapatkan adalah free cash yang besar.
Tapi alih-alih menyetujui saran sang CEO, sang Business Owner tegas menjawab, “TIDAK! Saya tak mungkin berjalan di atas luka orang lain” jelas sang Business Owner.
Maka saya jadi mafhum kalau bisnisnya semakin besar. Semakin berkibar. Terakhir sang Business Onwer bersama CEO mem-film-kan pengalaman bisnisnya.
Kisah lain, Mas Mono pemilik Brand Ayam Bakar Mas Mono, selama ini memiliki supplier kardus yang selama 12 tahun bekerjasama. Hubungan diantara mereka bukan lagi sekadar bisnis tapi seperti keluarga dan ada hubungan kuat.
“Dia membantu saya dari saat Mas Mono tidak punya apa-apa hingga seperti sekarang”, terangnya dalam buku Lezatnya Bisnis Kuliner.
Setelah Ayam Bakar Mas Mono membesar tiba-tiba ada seorang supplier lain datang menawari kardus dengan kualitas sama tapi harga jauh lebih murah. Karena mengerti etika bisnis, akhirnya Mas Mono meminta supplier baru untuk berhubungan dengan si Kokoh supplier lama. Supplier baru diminta menyuplai supplier lama.
“Biar saya tetap bisa mengambil dari si Kokoh, tetapi dengan harga lebih murah”, tambahnya. Memang lebih mahal, tapi silaturahmi tetap terjaga. Lebih banyak yang didoakan. Etika bisnis tetap dijalankan. Wajar kalau Mas Mono yang hanya lulusan SLTA, bisnisnya tetap berjaya.
Teringat juga seorang abang dan senior dalam bisnis media properti. Beliau mengajak saya bermitra untuk membuat sebuah event.
Nah, sebelum bertemu saya, beliau menghubungi teman saya, mitra saya sebelumnya. Ingin memastikan bahwa saya memang tak lagi bermitra dengan teman tersebut. Karena event yang akan dikerjakan persis dengan core bisnis teman. Pun saya menyampaikan kepada teman rencana bertemu dengan si abang. Hasilnya, saya dan abang itu nyaman bekerjasama, teman saya malah dukung.
Ya, etika bisnis emang halus sekali. Bukan soal benar dan tidak benar secara legal. Yang semua tertulis, tersurat tinggal cek apa sesuai atau tidak.
Tapi ini soal boleh dan tidak boleh. Mungkin benar, tapi tak beretika. Adanya emang di lubuk hati terdalam.
Sebagai contoh kita selama ini belajar dengan seorang Guru Bisnis, kita tahu apa bisnisnya, cabangnya dimana saja, lalu tiba-tiba kita bikin bisnis yang mirip-mirip, lokasi masih tak jauh dari salah satu cabang bisnis Guru Bisnis kita. Tak salah, benar, tapi tak beretika.
Ya, ini emang soal rasa. Hanya hati kita yang bisa menjawabnya masing-masing. Adakah bisnis kita saat ini beretika atau tidak? Ukurannya sederhana, cukup dengan empati.
Bagaimana rasanya kalau kita di posisi orang lain. Kalau kita di posisi mitra perusahaan brand fashion anak tersebut, kalau di posisi supplier lama Mas Mono, sebagai Guru Bisnis yang senantiasa membagikan bisnis, dan seterusnya.
Kalau tak ada ‘hati kecil’ yang menolak, tak mengapa lanjutkan, kalau terasa ada yang kurang pas, sebaiknya kembali dipikirkan.
Salam 5 Jari
*) Penulis adalah Founder AMRI Bogor
No Comments